DJAJA Wirasta tumbuh menjadi sosok laki-laki yang berani, sampai usia remaja dia diperintahkan oleh Suma Raga untuk menuntut ilmu kepada teman-teman seperguruan ayahnya saat mencari ilmu di pertapan lawang pitu. Suma Raga berpesan kepada Djaja Wirasta anaknya untuk menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh dan jangan pulang sebelum ia pandai dan terampil dalam menerapkan ilmu kebatinan yang dia peroleh nantinya.
Djaja Wirastra mematuhi perintah ayahnya kemudian ia berberpamitan dan pergi menuntut ilmu ke teman seperguruan ayahnya. Sampai pada suatu saat sewaktu Djaja Wirasta menuntut ilmu ia mendapatkan kabar bahwa ayahnya meninggal dunia, akan tetapi saat dia mau pulang ke Gergunung, Djaja Wirasta teringat dengan pesan ayahnya jika dia belum pandai dan belum mahir dalam mengamalkan ilmu kebatinan dia tidak diperbolehkan pulang.
Djaja Wirastra akhirnya memutuskan untuk tidak pulang ke kampung ayahnya. Perasaanya sedih dan juga kecewa karena tidak bisa menyaksikan kepulangan ayahnya untuk terakhir kalinya namun dia tetap semangat untuk melanjutkan tujuan awalnya untuk menuntut ilmu demi tanggung jawabnya sebagai anak untuk mematuhi perintah ayahnya untuk yang terakhir kali.
Dilokasi yang berbeda Raden Mas Engram, Ngabei, dan Djaja Anggada menyebarkan agama Islam dengan membangun lokasi pertapan lawang pitu menjadi sebuah bangunan masjid yang kemudian diberi nama “Masjid Kuna Lawang Pitu”. Masjid itu berfungsi untuk tempat peribadatan penduduk yang memeluk agama Islam.
Sekitar Masjid Kuna Lawang Pitu sudah banyak berdiri rumah-rumah penduduk sebelum Raden Mas Engram datang ke kampung tersebut. Penduduk yang datang ke perkampungan Masjid Kuna Lawang Pitu, mereka datang karena tergeser oleh keadaan keluarga keraton dan geger adanya pemberontakan Trunajaya. Akibat pergeseran penduduk itulah kampung tersebut dinamakan Kesur.
Kyai Djaja Anggada atau Kyai Glutuk, membuat arca patung sapi karena beliau memiliki kekawatiran akan pamor dan kedudukannya di kampung yang didiaminya. Sehingga beliau membuat patung yang sesuai dengan kondisi penduduk saat itu yakni sebagai peternak sapi. Akhirnya Djaja Anggada membuat arca patung sapi beserta patung penggembalanya. Djaja Anggada sebagai pemimpin, banyak berangan-angan dan rasa kekhawatiran yang tinggi dan suka berangan-angan atau dalam bahasa jawanya karangan, sehingga perkampungan itu dinamakan Karang.
Kepemimpinan di wilayah-wilayah yang di amanahi oleh Resi Rekso Sapta Lepen tersebut bertahan sampai abad ke-19. Pada abad ke-19 datang seorang Tumenggung yang bernama Soemodilogo yang kemudian menduduki posisi Bupati Temanggung pertama. Tumenggung Soemodilogo mengumpulkan para pemimpin di wilayah kekuasaanya termasuk Syeh Samsudin, Danaraja, Kyai Repeh, Sumaraga, Djaja Anggada Ingram, Ngabei, dan Djangka Kewo.
Hasil pertemuan tersebut, Bupati Temanggung menyampaikan maksudnya untuk melakukan pemadatan wilayah dan juga memilih satu pemimpin untuk wilayah yang sudah dipadatkan. Tujuannya untuk mempermudah koordinasi antar wilayah dan juga terdapat pusat pemerintahan yang jelas. Setelah pertemuan dengan Bupati Tumenggung, Soemodilogo, para tokoh tersebut berembuk untuk menentukan nama desa, pusat pemerintahan dan juga pemimpinnya. Saat musyawarah muncul nama Desa Ngropoh.
Nama desa tersebut diambil dari salah satu perkampungan yakni Kampung Ngropoh yang dipimpin oleh Kyai Repeh, dimana kampung tersebut mengalami kemajuan sosial dan perekonimian paling pesat dibandingkan dengan perkampungan yang dipimpin oleh tokoh lainnya. Harapannya dengan nama Ngropoh, Desa Ngropoh bisa mengalami perkembangan yang pesat baik dari sisi sosial, ekonomi dan budaya. Pusat pemerintahan desa, para tokoh memilih perkampungan yang dipimpin oleh Ngabei karena lokasinya berada diseluruh wilayah perkampungan yang ada pada saat itu.
Kampung yang menjadi pusat pemerintahan bernama kampung Ngabeyan yang diambil dari nama pemimpin awalnya yaitu Ngabei. Musyawarah yang ke tiga membahas pemimpin yang akan dipilih untuk memimpin pemerintahan yang akan datang. Masing-masing tokoh mengusulkan nama calon pemimpin, dari usulan para tokoh tersebut muncul bebrapa nama calon. Salah satu nama yang dicalonkan adalah Djaja Wilastra. Djaja Wilastra pada akhirnya terpilih menjadi pemimpin pertama di Ngropoh, karena dianggap memiliki tanggung jawab yang besar dan juga memiliki ikatan kekerabatan yang cukup kental karena beliau adalah anak dari sahabat para tokoh dan teman seperjuangan saat menuntut ilmu di pertapaan lawang pitu.
Berdasarkan cerita asal-usul Desa Ngropoh tersebut para penduduk Desa Ngropoh percaya bahwa terbentuknya desa berawal dari perjuangan para leluhur. Oleh karena itu setiap tahunnya di masing-masing desa mengadakan acara yang namanya sadranan sebagai wujud rasa syukur atas anugrah dari Yang Maha Kuasa dan juga sebagai pengabdian masyarakat untuk mengingat perjuangan para leluhur serta sebagai sarana untuk melestarikan budaya dan sosial masyarakat.
Masyarakat di Desa Ngropoh memiliki jiwa sosial dan kepedulian yang tinggi terhadap sejarah dan budaya hal ini terbukti dari acara-acara yang sering diadakan setiap tahunnya melalui festival duren. Acara festival duren yang ke-7 diselenggarakan pada tanggal 13-15 Maret 2020. Acara tersebut selain sebagai sarana promosi durian Ngropoh juga sebagai sarana untuk mempertahankan budaya yang ada, salah satunya melalui pagelaran wayang kali dengan ki dalang Untung.
Bahan wayang terbuat dari bahan alam yang masih banyak ditemukan di Desa Ngropoh yakni gedebog pisang. Isi cerita dari pagelaran wayang kali yakni menceritakan terkait tokoh-tokoh pendiri Desa Ngropoh dan juga awal mula penanaman durian Ngropoh yang sekarang menjadi potensi andalan sektor pertanian di Desa Ngropoh. Konsep dari pagelaran wayang kali ini adalah seni gabungan antara tarian tradisioanal berupa tari gambyong, pagelaran wayang dan teatrikal. Pagelaran wayang sebagai pagelaran utama di pertegas dengan gerakan teatrikal dan diakhiri dengan tarian gambyong.
Acara pagelaran wayang kali dilaksanakan di lokasi pancuran pitu karena lokasi itu dianggap masyarakat sekitar menjadi lokasi yang keramat. Masyarakat menganggap nama pitu berarti pitulung yang dalam bahasa Indonesia artinya pertolongan. Sehingga banyak masyarakat mempercayai bahwa air di pancuran pitu memiliki segudang berkah dan karomah. Sampai sekarangpun banyak orang-orang yang mengambil air pancuran pitu untuk kegiatan pertanian.
Demikian sepintas cerita berdirinya dan berkembangnya masyarakat yang berdomisili dan berkembang disebuah kawasan sebelah timur kota Temanggung yang diberi nama Desa Ngropoh.
Oleh: Uswatun Nurul Ashofah
Sumber Foto: Sijekpulsa
Tuliskan Komentar anda dari account Facebook