Asal-Usul Desa Ngropoh (Bagian 2)

DAERAH yang di bawah pimpinan Danaraja dan Syeh Samsudin menginginkan Danaraja untuk menjadi pemimpin (ratu) di salah satu perkampungan wilayah Barat. Penduduk sudah bersiap-siap untuk membangun kerajaan atau candi untuk kepemimpinan Danaraja, namun Danaraja tidak mendapatkan ijin dari kakaknya yang bernama Singa Merta.

 

Wejangan dan saran dari Singa Merta tidak diabaikan oleh Danaraja, akhirnya Danaraja mengikuti saran kakaknya yang menyebabkan penduduk kecewa dan membiarkan bahan untuk candi berupa batu bata di biarkan menumpuk di lokasi tanpa di bereskan, sekarang lokasi tersebut di kenal dengan nama “Secandi”.

 

Gagalnya pembuatan candi tersebut membuat warga marah dan jengkel dengan Danaraja akhirnya Danaraja berdiskusi dengan dengan Syeh Samsudin untuk mendamaikan penduduk kembali. Adanya tragedi tersebut daerah pimpinan Danaraja dinamakan Dukuh karena agar masyarakatnya ora kendu lan tetep pengkuh (yang berarti tidak kendor dan tetap kuat), melalui kesepakatan dari musyawarah bersama.

 

Sebagai bentuk rasa syukur dan senang karena permasalahan sudah sedikit damai, Danaraja memberikan wejangan kepada bawahannya untuk menanam sebuah pohon agar nantinya bisa dimanfaatkan sebagai sumber pangan dan perekonomian penduduk. Namun, beberapa tanaman yang sudah ditanam tidak memunculkan tanda-tanda kehidupan, bahkan tanaman yang tadinya subur, ranting dan batangnya tiba-tiba mengering.

 

Danaraja dan penduduk yang ikut menanam pun bingung, karena tanaman yang mereka tanam dan rawat dengan baik tidak berbuah. Danaraja tidak menyerah begitu saja beliau berusaha mencoba mengganti air yang digunakan untuk menyiram tanaman itu dengan air pancuran pitu. Singkat cerita tanaman yang ditanam tersebut bisa tumbuh subur dan setelah bertahun-tahun mulai berbuah. Buah yang sudah jatuh kemudian diambil oleh Danaraja dan dinikmati bersama penduduk.

 

Mereka pun senang karena akhirnya bisa menikmati buah yang sudah lama dinanti-nantikan. Penduduk juga merasa terkejut dengan rasa buah yang legit dan aroma yang sangat tajam. Rasa keterkejutan dan senang membuat perbincangan yang tiada ujungnya di kebun tersebut hingga suaranya terdengar dari jauh karena perbincangan yang sangat keras. Penduduk lain mengira orang-orang di kebun sedang padu (bertengkar) sehingga tanpa sadar buah hasil panen dinamai duren berasal dari istilah rumangsane rembugan padu ora leren, yang artinya dikira orang bertengkar tiada ujung.

 

Berkat kegigihan Danaraja dalam menanam buah duren dan penyiraman dengan air di pancuran pitu, buah duren menjadi ciri khas daerah itu dan pancuran pitu di percayai membawa segudang manfaat dan dikeramatkan oleh penduduk. Sampai saat ini pancuran pitu dipercai masyarakat sekitar memiliki manfaat untuk kesehatan, rejeki, jodoh, kecantikan, kedudukan/jabatan, termasuk juga untuk pertanian.

 

Rasa senang berkat panen duren yang melimpah, Danaraja dan penduduk mengadakan syukuran dengan mendatangkan seni tayub atau yang dikenal masyarakat jaman itu dengan sebutan tledek sebagai hiburan rakyat. Pertunjukan tledek yang diadakan berlangsung selama sehari semalam, sehingga pemain tledek mengalami kelelahan dan jatuh sakit sampai meninggal di lokasi barat dusun Dukuh yang ditempati Syeh Samsudin.

 

Penduduk di daerah Syeh Samsudin memiliki sifat yang kaku dan kraman (maling, rampok dan kejahatan lainnya), sehingga daerah itu disebut dengan Kauman dan penari tledek dijuluki dengan nama Nyi Sembaga. Keprihatinan Syeh Samsudin terhadap daerah itu membuat Syeh Samsudin berpikir untuk merubah pola pikir dan kebiasaan masyarakat untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Syeh Samsudin dibantu oleh seorang ulama yang datang dari luar wilayah itu, ulama itu tidak di ketahui nama aslinya tetapi mendapat nama panggilan Nursangin. Nama tersebut berasal dari kata Nur dan Angin, Nur artinya Cahaya, dimana kata Angin maksudnya terbawa oleh angin bias sampai lokasi Syeh Samsudin.

 

Harapan Syeh Samsudin dengan datangnya Kyai Nursangin akan memberi cahaya terang ke penduduk Kauman yang masih diliputi kegelapan. Seiring berjalannya waktu Kyai Nursangain dan Syeh Samsudin mendirikan sebuah bangunan berupa masjid sebagai sarana untuk menyebarkan agama Islam di Kauman. Atas dasar kronologi tersebut masjid yang ada di Kauman dinilai sebagai masjid peninggalan wali.

 

Berkat tiga tokoh yakni, Danaraja, Syeh Samsudin dan Kyai Nursangin muncul sebuah perkampungan baru yang penuh dengan tanaman miri dan kunyit. Tanaman miri dan kunyit tersebut memang sengaja di tanam di dekat perkampungan dengan tujuan untuk kebutuhan pangan dan juga untuk obat-obatan penduduk. Sehingga perkampungan tersebut dinamakan kampung Miri Kunyit. Sejak saat itulah wilayah Dukuh, Kauman dan Miri Kunyit berada dibawah pimpinan Danaraja, Kyai Nursangin dan Syeh samsudin, dimana Syeh Samsudin sebagai sesepuh tiga perkampungan tersebut.

 

Wilayah bagian barat, yang dipimpin oleh Kyai Repeh dan Soma Raga memiliki tujuan untuk menyebarkan ilmu dibidang pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk. Langkah awal yang dilakukan oleh Kyai Repeh adalah membuat saluran irigasi untuk pengairan di lahan persawahan. Pusat sumber air yang akan diambil untuk irigasi berada di kali murung yang pada waktu itu terhalangi oleh batu besar sehingga air di kali murung tidak bisa mengalir ke saluran irigasi yang akan dibangun oleh Kyai Repeh.

 

Berkat ilmu kebatinan yang diperoleh Kyai Repeh dari berguru kepada sang Resi Rekso Sapta Lepen, beliau bisa mengendalikan batu besar yang ada di kali murung untuk dipindahkan tanpa mengangkat batu besar dengan tangan. Setelah batu besar dipindahkan, air dari kali murung bisa mengalir ke bak penampungan yang akhirnya akan dialirkan ke sawah penduduk melalui saluran irigasi yang dibangun oleh Kyai Repeh. Bak penampungan air dari kali murung itu kemudian dikenal dengan sebutan bak irigasi wali. Lokasi sekitar irigasi itu lama-lama banyak didatangi penduduk dari luar daerah untuk menetap disana karena sumber pangan dan air yang sudah lebih dari cukup. Berkat Kyai Repeh juga kehidupan masyarakat bisa tercukupi dari pertanian sehingga kampung itu dinamakan Ngropoh yang diambil dari nama tokoh yakni Repeh.

 

Suma Raga kemudian membuat patung dari batu sebagai pengingat penduduk Ngropoh akan jasa-jasa Kyai Repeh. Batu yang dibuat oleh Suma Raga memiliki ukuran sekitar 1m3 dimana bagian tengahnya berlubang (yoni). Yoni dalam Bahasa sansekerta memiliki arti bagian/tempat (kandungan), dimana yoni yang dibuat oleh Suma Raga memiliki makna bahwa Kyai Repeh sudah membuat tempat penampungan air untuk sumber pengairan lahan pertanian penduduk. Patung batu yang dikenal masyarakat sebagai yoni itu di letakkan ditengah-tengah kampung Ngropoh di halaman salah satu rumah penduduk.

 

Suma Raga awalnya tinggal dengan teman seperguruannya Kyai Repeh di kampung Ngropoh. Setelah pekerjaannya membantu Kyai Repeh berhasil, beliau mempersunting gadis muda dari kampung itu. Setelah menikah Suma Raga berpamitan kepada Kyai Repeh untuk pindah dari kampung Ngropoh dan tinggal di puncak bukit yang terlihat seperti awak gunung sehingga dinamakan Ger Gunung. Suma Raga dan istrinya tinggal di Ger gunung dengan kehidupan sederhana tetapi keluarganya jauh dari permaslahan. Sampai pada akhirnya Suma Raga dan istrinya di karuniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Djaja Wilastra.

 

Oleh: Uswatun Nurul Ashofah

Sumber Foto: Sijekpulsa


Tuliskan Komentar anda dari account Facebook
chat
chat