SEKITAR abad ke-17 masehi terdapat sebuah perkampungan yang dikelilingi oleh hutan dan masih jarang penghuninya, dimana dibagian timur perkampungan tersebut terdapat sebuah sungai yang disebut warga sekitar dengan kali murung. Rumah-rumah yang didirikan oleh penduduk saat itu masih terpencar-pencar belum bergerombol. Persebaran rumah penduduk ada yang di barat, di timur, di selatan dan di bagian utara.
Pada zaman itu masyarakat belum mengenal adanya pendidikan, sehingga pengetahuan masyarakat masih rendah. Posisi perkampungan yang jauh dari perkotaan dan keramaian mendesak penduduk kampung tersebut untuk berupaya memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dengan cara mencari bahan makanan di hutan dan bercocok tanam dilahan hutan yang dekat dengan perkampungan.
Pada masa pemerintahan Kerajaan Paku Alam tahun 1764 dibawah kepemimpinan Raja Amangkurat Mas terjadi perpecahan karena pemberontakan Trunajaya Di tempat tersebut kedatangan seorang bangsawan yang namanya Raden Mas Kesuma Surya Praja yang mengembara dari timur ke arah barat. Saat sampai di Kabupaten Magelang, Raden Mas Kesuma Surya Praja melihat ke arah utara terlihat dua buah pohon beringin kembar di sebuah bukit, lalu beliau melanjutkan perjalanan ke arah pohon beringin kembar tersebut.
Saat sampai dilokasi pohon beringin kembar, beliau melihat seseorang dan bertanya nama lokasi tempat beliau berdiri, orang tersebut menjawab bahwa penduduk sekitar menamai lokasi tersebut dengan sebutan “Gumuk Seringin” karena posisi tumbuhnya beringin (bahasa jawanya seringin) berada di puncak bukit (bahasa jawanya gumuk).
Raden Mas Kesuma Surya Praja merasakan suasana dan perasaan yang berbeda ketika berdiri di lokasi beringin kembar. Beliau merasakan ketentraman hati dan sangat nyaman berada di lokasi itu. Kesejukan dan keasrian lokasi beringin kembar membuat Raden Mas Surya Praja berpikir untuk singgah sementara di lokasi tersebut. Kemudian tanpa berpikir panjang Raden Mas Kesuma Surya Praja langsung meminta ijin kepada penduduk yang beliau temui saat itu. Penduduk tersebut langsung memberikan ijin kepada Raden Mas Surya Praja untuk singgah sementara waktu di gumuk seringin.
Setelah mendapatkan ijin, Raden Mas Surya Praja segera mendirikan barak untuk tempat bernaung dan sebagai perlindungan dari hewan buas. Setelah beliau memutuskan untuk membuat barak untuk tempat tinggal beliau juga berjalan-jalan untuk mencari sumber kehidupan. Sumber kehidupan utama yang dimaksud adalah sumber mata air, dimana Raden mas Surya Praja menemukan sumber mata air yang sangat jernih terletak dibawah gumuk seringin.
Sumber mata air yang ditemukan belum cukup besar dan di rasa belum bisa memenuhi kebutuhan air Raden Mas Surya Praja sehari-hari jika beliau menetap di lokasi tersebut. Oleh karena itu, beliau menggali tanah disekitaran sumber mata air, lama kelamaan meluas dan agak dalam berbentuk seperti kolam. Sumber mata air yang tadinya kecil sudah berbentuk kolam, lokasinya persis di sebelah pohon beringin. Air dari kolam tersebut digunakan oleh Raden Mas Kesuma Surya Praja untuk konsumsi, mandi, dan juga untuk pengairan pertanian.
Raden Mas Kesuma Surya Praja yang niat awalnya hanya untuk singgah beberapa waktu saja akhirnya beliau menetap cukup lama karena sumber kehidupan sudah tersedia dan juga sudah mendapatkan kenyamanan di gumuk seringin. Lambat laun banyak orang yang datang dan tinggal menetap di lokasi gumuk seringin. Tempat tinggal didirikan di dekat barak dari Raden Mas Kesuma Surya Praja.
Tahun demi tahun, tempat tersebut semakin ramai dikunjungi dan disinggahi orang-orang dari luar daerah untuk berguru dan menuntut ilmu kebatinan dengan Raden Mas Kesuma Surya Praja. Banyaknya orang yang singgah dan menetap serta berguru, sehingga di lokasi gumuk seringin Raden Mas Kesuma Surya Praja mendirikan tempat ibadah atau semedi yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Yang Kuasa. Tempat ibadah itu memiliki pintu berjumlah tujuh sehingga dinamakan pertapan “Lawang Pitu”.
Raden Mas Kesuma Surya Praja sebagai guru di pertapan lawang pitu mendapatkan panggilan dari muridnya dengan sebutan “Resi Rekso Sapta Lepen”. Karena selain membuat bangunan suci untuk tempat ibadah Raden Mas Kesuma Surya Praja juga membuat pancuran air yang jumlahnya tujuh atau dalam bahasa jawa disebut dengan “Pancuran Pitu”.
Tujuan dari pembuatan pancuran air yang jumlahnya tujuh ini untuk memudahkan pemanfaatan air sebagai sumber kehidupan bagi murid anak didik Raden Kesuma Surya Praja yang dari tahun ke tahun jumlahnya semakin banyak. Murid dari Resi Rekso Sapta Lepen antara lain Kyai Repeh, Kyai Soma Raga, Kyai Engram, Kyai Djaya Anggada (Kyai Glutuk), Kyai Jangka Kewa, dan Kyai Semplang.
Pada abad ke-18 sekitar tahun 1820, ada seorang pemuda bangsawan (pangeran) dan temannya datang dengan mengendarai gajah. Pangeran tersebut datang untuk mencari seorang guru dari keturunan Majapahit yang berasal dari Brawijaya. Sampai akhirnya pangeran bertemu dengan Resi Rekso Sapta Lepen, kemudian mereka berdua berbincang-bincang cukup lama.
Akan tetapi, tiba-tiba pangeran bersimpuh dihadapan Resi Rekso Sapta Lepen memohon untuk menjadikannya murid. Pangeran juga memperkenalkan dirinya dan juga temannya bahwa, dirinya berasal dari Jogja, beliau adalah pangeran Danaraja dan temannya bernama Ngabei. Tidak berselang lama datanglah seseorang dari keturunan Kerajaan Demak yang sudah punya gelar Syeh, yaitu Syeh Samsudin.
Waktu yang ditempuh para murid dalam menuntut ilmu dari Resi Rekso Sapta Lepen cukup lama, sehingga berkat keuletan dan kegigihan mereka para murid tersebut punya keterampilan dan pengetahuan serta ilmu kebatinan yang kuat. Sampai pada saatnya sang Resi Rekso Sapta Lepen atau nama aslinya Raden Mas Kesuma Surya Praja di jemput oleh keluarganya untuk pulang.
Sebelum waktu kepulangannya tiba, sang resi sudah membagikan wilayah binaan kepada para muridnya yang sudah paham dengan agama islam. Syeh Samsudin dan Danaraja di barat, Kyai Repeh dan Sumaraga di timur, Djaja Anggada Ingram dan Ngabei di tengah, Djangka Kewo di selatan. Setelah pembagian wilayah sang resi pulang ke asalnya dan wilayah yang sudah dibagi-bagi tadi diserahkan kepada penanggung jawab masing-masing.
Oleh: Uswatun Nurul Ashofah
Sumber Foto: Sijekpulsa
Tuliskan Komentar anda dari account Facebook